Mungkin anda sering mendengar pepatah, bersusah-susah dulu bersenang-senang kemudian, yang artinya, masa tua adalah masa manusia menikmati hasil kerja kerasnya di masa muda. Tetapi hal ini tidak seperti apa yang dialami seorang nenek di Desa Sumberdadi, Tulungagung. Sampai usia tuanya, ia tetap saja bekerja keras untuk menghidupi kedua cucunya.
Hilir mudik arus kendaraan tiap hari ku temui.Cuaca panas sudah menjadi teman baikku.Beginilah aku menjalani hidup setiap hari.Menanti pembeli sambil duduk beralaskan tikar di depanStasiun Kereta Api Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur.
Terik matahari dan derasnya hujan, tidak menghalangi tubuhku yang sudah renta ini, untuk terus berjualan demi menghidupi kedua cucuku dengan hanya berpenghasilan sebagai penjual nasi pecel.
Memang diusia yang sudah 75 tahun, aku seharusnya tak lagi mencari uang seperti ini. Ingin rasanya beristirahat, menghabiskan waktu dirumah dan bermain bersama cucu.Tapi nasib, tak selamanya sesuai angan-angan.Aku harus mencari nafkah untuk bertahan hidup.
Namaku Suponen, tapi orang-orang sekelilingku memanggil MbahPonen. Usaha dagang sudah ku jalani sejak suamiku masih hidup, kami bahkan berjualan nasi pecel.Bukan diwarung tetapi menjajakannya berkeliling.Memiliki kios atau warung tetap bagiku hanyalah angan-angan.Setiap malam aku memasaknya, pagi-pagi suami berkeliling menjualnya.Tetapi sejak suami meninggal dunia 6 tahun yang lalu, otomatis semua tanggung jawabnya itu kupikul sendiri.Hingga suatu hari aku terlilit hutang dan gerobak itu pun ku jual.
Kehidupan Udin, anakku semata wayang, tak lebih baik dariku, ia bercerai lalu merantau di Kalimantan guna memperbaiki nasib kami. Namun, sampai hari ini pun sejak kepergiannya hampir 3 tahun yang lalu, sepucuk surat kabar tak pernah ku terima. Ia menghilang atau lupa atau bahkan dipanggil Tuhan, entahlah, yang jelas tak ada kabar semenjak kepergiannya. Itu pula sebabnya, sepeninggal suami, aku menambah penghasilan dengan menjual mainan tradisional.
Dibantu Sani, cucu pertama, pukul 6 pagi aku sudah keluar berjualan. Kalau pagi, kami berjualan di depan sebuah stasiun kereta api, lalu setelah siang aku bekerja sebagai pemarut kelapa. Tak banyak hasil yang didapat, karena modalnya juga kecil.
Sani lah yang setiap hari menemaniku. Sayang, diusianya yang 17 tahun, Sani cuman bisa membantuku berjualan, karena hanya berpendidikan sampai kelas 5 SD sulit untuknya mendapatkan pekerjaan diluar sana.Lain pula dengan Joko.Ia sibuk mempersiapkan UN, karena sudah kelas 3 SMP. Sedangkan 2 anak Udin yang lainnya diasuh oleh ibunya.
Dari berjualan, aku bisa menutupi kebutuhan hidupku meskipun tak banyak, hanya itu yang bisa aku dapatkan.Tapi apalah artinya uang 25 ribu saat ini.Apalagi untuk kami bertiga. Sekali makan sudah habis, belum untuk keperluan yang lain. Namun kami bersyukur karena kami tak lagi memikirkan biaya sekolah Joko.Ia termasuk siswa berprestasi yang mendapat beasiswa tetap.
*************************
Di rumah bambu inilah aku dan kedua cucuku tinggal.Begitu kecil dan sempit.Bagi kami, tempat ini adalah segalanya.Karena disinilah kami merasakan hidup sebagai manusia.
Disisa umur ini, aku masih memelihara harapan, suatu hari bisa tinggal disebuah tempat yang layak, tidak kedinginan dan berhimpitan seperti ini.
Malam ini entah mengapa cahaya matahari tidak berpihak padaku.Hujan dengan derasnya menerpa rumahku dan terpaksa aku tidak berpenghasilan hari ini.Sebenarnya hari ini pun aku tidak makan sudah biasa.Namun, bagaimana dengan cucu-cucuku? Aku tidak akan sanggup melihat mereka menangis kelaparan. Terpaksa aku menahan rasa malu meminta belas kasihan tetangga untuk sesuap nasi hari ini.
Disamping cerita tadi, aku pernah tertangkap oleh Satpol PP dan menginap selama 2 malam di kantor penyuluhan karena berjualan di tempat yang seharusnya tidak boleh dibuat berjualan. Pernah juga saat suami masih hidup, gerobak kesayangan kami dirusak oleh preman.Ya, untung saja waktu itu rusaknya tidak parah.
Keesokan harinya, cuaca lumayan cerah.Yah, cukuplah untuk aku bisa berjualan lagi.Seperti biasa pukul 04.00 aku bangun pagi untuk mencari sayur mayur di pasar untuk bahan pecel.Pasar terletak tidak jauh dari rumahku, jadi aku hanya perlu berjalan kaki saja.
“San, tangi wis esuk.Wayahe salat subuh.”kataku membangunkan Sani.
“Nggih, mbah.”katanya.
Kami pun bergegas pergi ke pasar. Untung cuaca hari ini lumayan cerah, setidaknya aku bisa berjualan untuk hari ini setelah beberapa hari kemarin banjir melanda kota tercintaku.
“Patang iket piro?”tanyaku.
“Lima ngewu, mbah.’jawabnya singkat.
“Larangeee… Dhek wingi regane patang ngewu???”
“Nggih.Regane mundhak malih sakniki.”
Melihat modal yang ku bawa, aku memutuskan untuk menolak harga tadi sambil menjawab.“Yoo wis.Telung iket wae.”
Kemudian, aku melanjutkan untuk membeli bahan pecel yang lainnya.Di tengah perjalanan aku tertarik melihat berita di televisi tentang Calon Pemilihan Presiden/Wakil Presiden Tahun 2009/2014 mendatang.
“Ah, capres sopo wae aku ora percoyo la wong negeri ne ora maju-maju. Tugase mung lungguh karo gawe dhuwite rakyat.” batinku.
Apa mereka para tikus berdasi tidak pernah menyadari keberadaan kami? Dengan gampang dan tanpa malu mencuri uang rakyat lantas juga menaikkan semua harga sembako? Katanya, subsidi, subsidi…Yah, mereka mungkin tidak pernah merasakan kerasnya hidup seperti aku.Jangankan untuk memenuhi hidup sedangkan makan sehari saja aku harus berjuang di bawah teriknya mentari menunggu belas kasihan.
Beberapa jam kemudian, kami pun pulang ke rumah dan membuatnasi pecel. Setelah selesai memasak, nasi pecel siap dijual, Sani mendahului berjualan.Tiba-tiba, ada salah seorang tetangga mengetuk pintu rumahku.
“Mak, ada kabar bilangnya Udin meninggal di Kalimantan, kecelakaan bilangnya.”
“Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un.”aku kaget mendengar berita itu.
“Ya Allah, anak satu-satuku meninggal dunia?”batinku.
“Sabar ya, mak. Allah sudah punya rencanalain dibalik semua itu.”
“Ya.Matur suwun.”Aku menangis tak kuasa menahan semua ini.Lalu, aku berniat memberi tahu Sani dan Joko tentang hal ini.
Namun sebelum sempat aku memberitahu mereka, tersiar kabar burung dari tetanggaku tentang orang yang terserempet motor.Tapi, aku tak peduli karena aku harus mengabari Joko tentang berita ini.Di tengah perjalanan aku melihat begitu banyak orang mengerumuni sesuatu.Aku penasaran, aku pun mendekati kerumunan itu.
“Ya ampun, Joko.”aku kaget melihat Joko terkapar di aspal.
“Di bawa ke rumah sakit aja, mbah.Itu kritis daripada bertambah parah.”
“Ya Allah? Bagaimana mungkin aku akan membawanya ke rumah sakit? Aku tidak punya uang untuk membayarnya.Aku memang punya kartu berobat gratis, tapi pasti pihak rumah sakit akan menolaknya!”batinku.
“Ya wis. Tolong pak, sampean antar cucuku ning rumah sakit.”kataku kepada seorang lelaki setengah baya.
“Baik, mbah.”jawabnya.
Lalu, ia membukakan pintu taksinya.Taksi itu pun melaju ke sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Tulungagung.Aku panik, bingung, cemas, gelisah, takut, semua perasaan bercampur menjadi satu.
Kami pun akhirnya sampai di rumah sakit itu.Aku menunggu di luar ruangan dengan perasaan yang begitu campur aduk.Dokter keluar ruangan yang nampaknya ingin mengatakan sesuatu.
“Nenek keluarga pasien?”dengan nada bijaksana ia bertanya.
“Ya, dok.”
“Cucu nenek baik-baik saja.Hanya mengalami sedikit pendarahan di otak.Tapi, bisa ditangani dengan baik.Cucu nenek harus diopname beberapa hari.Nenek harus melapor ke administrasi di lantai 2.”kata dokter sambil memberi sebuah kartu pasien.
“Matur suwun, dok.”
Aku sangat senang sekali mendengar kabar itu.Hatiku yang tercekam kini mulai terobati dengan kabar itu.Namun, sebaiknya kabar mengenai kematian anakku, Udin tak ku beritahu pada Joko untuk sementara ini.Masalah biaya rumah sakit Joko mungkin aku bisa pinjam kepada tetangga.
Aku segera menuju ke bagian administrasi. Di sana, tampak seorang suster yang sangat cantik dan juga ramah. Dulu, aku ingin sekali memiliki anak perempuan yang cantik.Namun, harapan itu hanyalah sebuah angan saja.
“Ada yang bisa dibantu, nek?”tanya suster ramah.
“Cucuku arep opname.Iki kartu ne.”sambil menyerahkan kartu pasien.
“Mau pilih ruangan yang mana?”tanya suster sambil menunjukkan beberapa brosur.
Aku berpikir ruangan kelas III cocok untuk kantongku yang pas-pasan. Aku berkata, “Aku pilih sing biasa wae, kelas III.”
Setelah itu, aku kembali ke ruangan cucuku.Ianampak begitu pucat dan terbujur lemah. Lalu, kami diantar oleh suster ke ruangan yang aku pilih.
*************************
2 hari kemudian…….
“Pinten biayane kabeh? Cucuku sing jenenge Joko Yulianto.”
“Semuanya sudah lunas, Nek.”
“Loh.. Sopo sing mbayari?”
“Disini tertulis Ny. Siti Wulandari.”
“Matur suwun, yo.”
Aku kaget bercampur senang.Utangku tidak menumpuk lagi.Tapi, siapa nyonya baik yang mau membayarkan biaya cucuku ini?Entahlah.Aku pun kembali ke ruangan cucuku.Disana tampak seorang perempuan yang cantik jelita.
“Sampeyan sinten?Gurumu tho?”
“Bu, perkenalkan. Saya Wulan, istrinya Mas Udin.”
“Udin sopo?”aku bingung dengan perkataannya.
“Udin anak Ibu di Kalimantan.”kata Wulan dengan senyum sumringah.
Wulan lalu memelukku dan mencium tanganku.Ia meminta maaf karena selama ini Udin tidak memberi kabar. Hal ini dikarenakan sibuk dengan pekerjaannya.Ia sampai disini karena amanah dari Udin sebelum meninggal untuk menemuiku. Ia juga yang membayarkan semua administrasi rumah sakit Joko. Wulan juga membayarkan utang-utangku kepada tetangga.Menantuku mengajak kami semua ke Kalimantan untuk mengubah hidup kami yang lebih baik.Aku terharu hingga meneteskan air mata.
Dalam hati aku berkata, “Ya Allah, terima kasih telah kau kabulkan doaku.Amin.”
OLEH : KARLINA | SMA NEGERI 1 TARAKAN
Post a Comment