Ketika mendapat perintah untuk menemui klien yang berada di luar kota, segera aku persiapan yang akan kubawa. Semuanya ku taruh di dalam koper kecil bewarna merah tua. Hanya sedikit yang aku bawa karena aku hanya berpergian selama tiga hari. Di atas meja, ada tumpukan file yang tidak boleh ketinggalan. Semuanya telah selesai. Bagiku ini bukan yang sulit karena aku sering mendapat tugas ke luar kota dari bos (direktur) ku. Dan segera aku beranjak ke tempat tidur. Karena besok aku harus berangkat pagi-pagi.
***
Suara azan subuh terdengar menggema, membangunkanku dari pejaman mata ini. Segera ku bangkit untuk menunaikan kewajibanku,sembahyang. Setelah itu, aku pun mulai mempersiapkan diri. Tak terasa jarum jam telah menunjukkan pukul 6. Aku pamit kepada kakak perempuanku. Umurnya selisih tiga tahun denganku. Namanya Bunga. Sebelum aku pergi,mbak Bunga pasti berpesan agar aku selalu hati-hati dijalan. “aku seperti anak SD saja, mbak. Masih di wanti-wanti segala,”, Candaku sebelum membuka pintu mobil sedan yang akan aku kendarai. Setelah aku rasa cukup untuk memanaskan mesinnya, mobil melaju meninggalkan rumah
***
Mobilku melaju melesat di sepanjang jalan, meskipun jalan yang aku lalui penuh dengan tikungan, aku tidak juga menurunkan kecepatan mobilku. Diluar kendali, mobilku menabrak pembatas jalan sehingga mobil keluar dari badan jalan menuju ke hutan semak-semak.dan akhirnya terhenti karena menabrak sebuah pohon.
Aku masih sangat syok atas kejadian tersebut, untungnya aku tidak terluka parah hanya rasa pusing yang berat . aku keluar dari mobilku yang sudh ringsek itu. “Dimana ini?” , pikirku. Karena tak ada satu pun orang yang lewat dan sangat sepi. Segera aku merogoh ponsel yang ada di kantong bajuku. “ ah, sial” batinku. Karena tak ada sinyal di daerah ini. Aku pun mulai kebingungan. Bagaimana cara aku bisa selamat? Bagaimana dengan tugasku?. Aku termenung sambil menangis sesegukan.
Tiba-tiba seseorang datang menghampiriku. Wanita renta berjalan sedikit pincang memberikan senyuman ramahku. Akupun segera membalasnya. Singkat cerita, aku ditolong oleh Wanita baik hati dan di bawa ke rumahnya. Wanita itu diakrab dipanggil mak Napen. Di rumah sederhana itu Mak Napen tidak tinggal sendiri, Mak Napen ditemani oleh Pak Tole dan anak angkatnya, Ridho. Keluarga ini hidup sangat sederhana. Rumahnya hanya bebilik dari bambu dan seng sebagai atapnya. Itulah penangkapanku sekilas dari kehidupan keluarga Mak Napen.
“Untuk sementara Neng tinggal disini dulu”, saran Mak Napen. Aku berpikir sejenak, kalau aku tinggal disini tentunya akan merepoti keluarga Mak Napen. Tapi, aku harus tinggal dimana. “iya” jawabku. Aku akan tinggal beberapa hari disini.
***
Memang benar, kehidupan keluarga ini sangat sederhana sekali. Rumah yang hanya diterangi oleh beberapa buah lampu templok itu pun kalau mereka punya minyak tanah. Seusai subuh, mereka harus segera menyiapkan diri bekerja keras demi mengisi perut dan kelanjutan kehidupan mereka. Mak Napen yang setiap harinya bekerja sebagai pengangkat sayur di pasar satu-satunya yang ada di daerah ini. Tempat ini merupakan sandaran hidup bagi mak Napen dan keluarganya. Setiap hari, mak napen harus berjalan sekitar 3 km untuk sampai ke pasar. Kali ini aku ikut pergi untuk membantu mak Napen .
Hatiku terenyuh melihat perjuangan mak Napen, tak sampai hati melihat orang tua yang telah serenta ini masih harus bekerja sekeras ini. Sambil berjalan menuju ke pasar, air mataku mengalir ke pipi namun segera kuusap. Akhirnya, pikiran ini teralihkan terganti dengan suasana pasar yang dipadati oleh para pedagang dan pembeli. Pembeli sangat gigih untuk menawar harga sehingga mereka mendapatkan barang yang dibutuhkan. Tak kalah juga dengan yang lainnya seperti truk-truk pembawa sayur dari daerah lain, pengemis kecil yang menunggu rejeki dari orang yang ikhlas untuk berbagi dan para pengangkat sayur termasuk mak Napen dan aku kali ini. Perjuangan belum berakhir karena selain fisik harus siap untuk mengangkat sayur tetapi harus juga mencari pelanggan. Kata mak Napen, pengangkat sayur yang ada sekitar 20 orang. Usia mereka beragam. Beberapa orang disini ada yang sebaya dengan mak Napen namun kebanyakan usia mereka jauh lebih mudah. Ini merupakan kesulitan tersendiri untuk mak Napen. Pada umumnya para pembeli memilih pengangkat sayur yang lebih muda. Tapi mak Napen mempunyai beberapa pelanggan setia yang menggunakan jasa. Mungkin karena faktor iba atau entahlah. Dari kejauhan ada seorang ibu yang memanggil kami. “Mak Napen, tolong bantu saya ya?” pinta ibu itu sambil tersenyum. Dengan sigap, mak Napen langsung mengangkat karung berisi penuh dengan sayur. Aku sangat terkejut karena aku kira hanya membawa beberapa kantung plastik. Mak Napen siap membawa karung itu, dalam hati ini ingin menolong si Mak tapi aku sadar itu tak mungkin. Malu sekali hati ini, aku yang muda saja kalah dengan si Mak. Ibu itu minta diantarkan ke rumahnya yang tidak jauh dari area pasar.
***
Hari ini Mak dan aku mendapat sembilan pelanggan. Bayaran untuk Mak tergantung dari keikhlasan si Mak. Mak mendapat Rp. 20.000,- untuk kerja kerasnya hari ini. Bagi Mak, uang ini sangat banyak karena biasanya Mak mendapatkan uang dibawah dari ini. Bahkan pernah si Mak tidak mendapatkan uang sepeser pun. Jadi hari ini Mak bisa membeli makanan untuk keluarganya. Rencananya, Mak akan memasak sayur bening dan ikan asin. Setelah belanja, aku dan Mak pun mempercepat langkah untuh pulang rumah karena langit tampak mendung.
***
Di rumah, Ridho menyambut gembira kepulangan Mak Napen. Kasihan sekali nasib Ridho. Ia terlahir cacat mental. Namun kasih sayang orangtuanya tidak sirna sedikit pun untuk anak semata wayangnya itu. Mungkin bila Ridho normal, mungkin seperti anak pada umurnya 16 tahun. Namun karena kekurangannya, penampilan ridho layaknya anak kecil. Seakan mengerti keadaan orangtusnya, Ridho selalu berusaha menghibur dengan caranya. Tentu saja pasangan ini bersyukur di anugerahi Ridho diantara mereka.
Dengan lain lagi dengan Pak Tole. Sejak dua tahun lalu Pak Tole menderita katarak dan 7 bulan terakhir, katarak itu semakin membesar dan mengganggu kehidupannya. Karena inilah, pak Tole yang dulunya adalah butuh di kebun karet tidak dapat bekerja kembali. Itu sebabnya, hanya Mak Napen yang menjadi satu-satunya tulang punggung di keluarga ini.
Singkatnya, Mak Napen telah menyiapkan makanan. Kami semua berkumpul di tengah ruang yang telalu luas. Ridho tampaknya sangat senang sekali saat si Mak menghidangkan makanan. Pak Tole yang sedari tadi duduk diluar masuk ke dalam bergabung bersama kami. Dengan sabar, mak menuntun bapak. Aku terharu meski mereka hidup dalam kesusahan, itu tidak mempengaruhi kerhamonisan mereka.
Selepas makan bersama, aku membantu mak membersihkan halaman rumah yang jarang di bersihkan. Daun-daun tua yang berserakkan. Sambil menyapu, Mak memberitahu bahwa mungkin besok aku bisa pulang. “yah, Neng kalau mau naik mobil sayuran yang keluar desa besok?. Itu saja yang ada disini, neng. Kalau neng betah tinggak di rumah Mak.”.
Jelas dalam hati ini senang, aku bisa pulang. Aku bisa ketemu Kak Bunga yang mungkin cemas memikirkan aku. Tentunya bila aku dapat kembali, aku bisa menjalani kehidupanku seperti biasa, berkantor, bertemu dengan teman-temanku, bila malam aku habiskan waktu dengan Kak Bunga di depan televisi. Namun, hati ini juga merasa sedih. Itu berarti tentu aku nggak akan bareng-bareng lagi dengan Si Mak, Pak Tole dan Ridho.
Momen ini gak akan kulewatkan sia-sia. Akibatnya, selepas bada isya, kami berkumpul sambil bertukar cerita. Dari kisah awal pertemuan Mak dengan Bapak, cerita kehadiran Ridho diantara mereka dan betapa kerasnya perjuangan mereka hanya untuk hidup. Disana rasa suka, duka, simpati, haru teraduk menjadi satu. Bisa dibilang Pak Tole sedikit mengeluh dengan katarak yang dideritanya karena itulah Mak yang menjadu tulang punggung saat ini. Pak Tole malu karena merasa belum bisa membahagiakan anak istrinya. Kata Mak, doanya bapak pasti meminta kesembuhan akan bisa mewujudkan keinginan Riddho. Hm, apa yang diinginkan Ridho?. Makin kami berempat asyik bercerita, tak terasa hingga larut malam. Kedua mata ini terasa berat dan mulai merasakan ngantuk hingga aku tidak tersadar ketiduran saat mendengar cerita mereka.
***
Pagi ini adalah pagi terakhir aku bersama keluarga Mak. Mendung menghiasi hamparan langit diatas. Tapi Mak Napen berdoa agar aku tidak kehujanan saat dijalan, maklum, yang aku tumpangi adalah mobil bak terbuka. Selepas subuh, aku meninggalkan rumah diantar keluarga Mak Napen sampai didekat pasar. Gerbang besar didekat pasar itulah pintu keluar dari desa terpencil itu. Pick up yang sebelumnya telah dimintai tolong untuk mengantarku siap megantarku sambil menunggu angkutan sayur yang lain. Rasa sedih terselip ketika Ridho memintaku untuk tidak pergi namun pak Tole memberi pengertian sehingga Ridho tidak lagi meronta-ronta. Mak Napen berpesan kepadaku untuk tidak melupakan mereka. Pak supir memanggilku untuk segera naik ke mobil pick upnya. Mesin mobil dinyalakan dan mulai bergerak menjauh dan semakin menjauh dari tempat Mak Napen dan keluarganya berdiri. Aku terus melambaikan tengan kepada mereka hingga mereka tak Nampak lagi dari pandanganku.
“Selamat tinggal Mak Napen, Pak Tole, dan selamat tinggal Ridho. Akan selalu merindukan kalian” kata lirih. Tak sadar lagi, aku kembali meneterskan air mata. Tapi aku dikagetkan oleh pak Supirnya.
“mau diantar kemana ini neng?” tanyanya ramah sambil fokus membawa kendaraannya.
“Kota Depok, pak” . jawabku semangat.
***
Sekembaliku dari desa terpencil itu, kedatanganku disambut oleh kak Bunga. Tak kalah juga kehebohan teman-teman sekantorku yang langsung menyerbuku dengan puluhan pertanyaan. Sebelum aku meladeni rasa kangen dari teman-temanku, aku menyindir kak Bunga.“Wew, gimana tidur malamnya selama tidak ada aku? Berani?” kataku.
“berani dong! Teman-temanku kan menginap di rumah kita selama kamu nggak ada.”
“ngapain saja?”
“kita pesta-pesta di rumah dua hari tanpamu. Ha… ha…”
“Ih… teganya kamu!”
Rita, teman satu divisiku langsung memberi “sambutan” pertanyaan dan ledekan tentang kecelakaanku. Dan sempat-sempatnya dia menanyakan apakah aku membawa oleh-oleh dari desa.
“kamu pikir aku berpiknik disana? Ada-ada saja.” Jawabku.
Ketika semuanya asyik bercerita dan mendengarkan kisahku disana. Sekretaris bosku datang ke mejaku untuk menyampaikan sebuah pesan. Aduh, aku lupa. Baru aku ingat dengan tugasku. Pasrah saja ini. Rasa berdebar-debar menghantui langkahku menuju ke ruang bosku yang nyaman itu karena full AC.
***
Memang ini rezeki keluarga Mak Napen. Panggilan bos kemaren bukan untuk memarahi kecerobohanku ataupun menanyakan kelanjutan tugas. Dan aku pun sangat bersyukur bisa lolos dari omelan bosku yang baik hati. Malah bosku menawarkan bantuan untuk Pak Tole. Awalnya karena pekan depan perusahaan ditempatku merayakan ulang tahun ke 15 tahun. Dalam perayaannnya, salah satu acaranya adalah operasi katarak gratis. Pak bos yang tahu tentang cerita keluarga Mak Napen dari temanku.
***
3 minggu setelah operasi itu, aku mengunjungi keluarga Mak Napen untuk sekian kalinya. Dan sekarang keadaan mereka tampak lebih baik daripada keadaan mereka saat pertama kali kulihat. Kini Mak Napen terkurang bebannya setelah Pak Tole bisa bekerja kembali. Ridho yang selalu ramah setiap kali aku mengunjunginya. Pak Tole member sebuah rahasia yang dulu sempat membuatku penasaran. Ini berhubungan dengan impian Ridho. Oh, ternyata dari dulu Ridho ingin jalan-jalan keluar desa dan katanya ingin pergi ke Dufan.
“Dho, kamu rupanya tahu Dufan juga ya?” tanyaku
“eh, aku pun tidak tahu. Katanya sih tempat bermain.” Jawabnya polos.
“Pak Tole, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan sekalian ke Dufan?”
“Bisa Neng” Sahut mak Napen bersemangat.
“Mak, nanti aku pergi pakai baju baru ya?” pinta Ridho
Aku mulai menstarter mobilku untuk kita berangkat ke Dufan sore ini. Kali ini aku tidak akan membawa mobil kebut-kebutan. Suasana ceria terlukis di gambaran kehidupan hari ini. Aku duduk di depan dengan Mak Napen sedangkan Ridho dan Pak Tole duduk di belakang. Karena pertama kalinya Ridho naik mobil, Mak membawa tas kresek hitam untuk jaga-jaga mungkin ada yang mabok kendaraan. Haha, ada-ada saja. Sambil melihat dari kaca spion mobil, aku menyebrangi mobil ke jalan raya dan melaju meninggalkan desa.
OLEH : HAIRUN NISSA TARAKANITA | SMA NEGERI 1 TARAKAN
Post a Comment